Rabu, 04 April 2018

Ringkasan Kriminologi (Dosen: Dr A. Widiada Gunakaya, S.H.,M.H. dan Mas Putra Zenno J., S.H.,M.H.)

RINGKASAN KRIMINOLOGI
(Buku Kriminologi, penulis Dr. A. Widiada Gunakaya, S.H., M.H.)

Diajukan sebagai Salah Satu Tugas dalam Mengikuti Mata Kuliah Kriminologi


Dosen
Dr. A. Widiada Gunakaya, S.H.,M.H. / Mas Putra Zenno J., S.H.,M.H.


Oleh
Fajrin Nur Aini
16.4301.115
Kelas A







SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG
2018




BAB I
ISTILAH, PENGERTIAN, PERKEMBANGAN WILAYAH KAJIAN, RUANG LINGKUP  RUANG LINGKUP DAN FONDASI KEILMUAN KRIMINILOGI

A.    Istilah, Pengertian, Perkembangan Wilayah Kajian dan Ruang Lingkup Kriminologi

1.      Istilah dan Pengertian
Nama Kriminologi kali pertama diintroduksi oleh seorang ahli Antropologi Prancis bernama P. Topinard (1830-1911).[1] Secara etimologikal, kata Kriminologi terdiri atas dua kata, yakni crimen berarti kejahatan dan logos berarti ilmu pengetahuan (sain). Jadi Kriminologi berarti ilmu pengetahuan tentang kejahatan.
Dasar dari kejahatan adalah suatu “perilaku” dan yang melakukannya adalah “manusia”, maka Kriminologi harus mampu mengaitkan kejahatan dengan disiplin-disiplin ilmu lain beserta kompleksitasnya secara pisik, nonpisik maupun budayanya. Variabel-variabel dari substansi proposisi tersebut signifikan dipelajari dan dipahami, karena fungsional dalam rangka mengetahui ‘faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan’ dan untuk mengkaji ‘mengapa orang (“manusia”) berperilaku jahat’. Dalam Kriminologi studi mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya dan dilakukan kejahatan disebut dengan “etiologi criminal” (criminal etiology). Kriminologi dalam rangka mencari dan menemukan faktor etiologi kriminal membutuhkan “pengetahuan-pengetahuan” yang dipelajari dan dikaji oleh ilmu atau disiplin-disiplin ilmu lain berkaitan dengan faktor-faktor penyebab kejahatan. Kriminologi hanya terdiri dari “kumpulan pengetahuan”. Oleh karena itu, Sutherland mengatakan “Criminology is the body of knowledge regarding crime as a social phenomenon”.[2] Secara a contrario berarti menurut Sutherland, Kriminologi bukan suatu “ilmu”.
Donald R. Taft mengatakan, Kriminologi digunakan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam “arti luas”, Kriminologi adalah suatu studi, lingkup kajiannya mencakup semua materi yang diperlukan untuk memahami kejahatan dan untuk pencegahan kejahatan, termasuk pemidanaan dan pembinaan terhadap para penjahat dan remaja nakal. Sedangkan dalam “arti sempit”, Kriminologi diartikan sebagai suatu studi sederhana, yang mencoba menjelaskan kejahatan untuk mencari (meneliti) bagaimana (cara) mereka melakukan kejahatan itu.[3]
Demikian pula menurut Bonger mengatakan: “Kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya”.[4] Ini berarti Bonger menganggap Kriminologi adalah suatu “ilmu”.
Melengkapi pendapat Kriminologi adalah “ilmu”, dikemukakan pendapat Noach yang mengatakan, “Krimimnologi dalam arti luas dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Criminologie in enge zin (Kriminologi dalam arti sempit); dan
b.      Kriminalistik (ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah teknik, dan sebagai alat untuk mengadakan penyelidikan perkara kejahatan secara teknis dengan menggunakan ilmu alam, kimia, dan lain-lain)”.[5]
Menurut Noach, dimaksud dengan Kriminologi dalam arti sempit adalah “ilmu pengethuan dari bentuk-bentuk gejala, sebab-musabab, dan akibat-akibat dari perbuatan jahat dan perilaku tercela.
Ditambahkan pula oleh Noach, kriminalistik meliputi :
a.       Ilmu jejak: suatu ilmu yang digunakan untuk menyelidiki dan mengidentifikasi jejak-jejak, yang ditinggalkan oleh penjahat atau alat-alat bantu yang telah digunakan dalam melakukan kejahatan.
b.      Ilmu Kedokteran Forensik: suatu ilmu yang digunakan untuk menyelidiki sebab-musabab kematian, luka-luka, darah, dan golongan darah, sperma, kotoran manusia, dan penyelidikan-penyelidikan selanjutnya yang berkaitan dengan tubuh manusia
c.       Toksikologi Forensik: penyelidikan mengenai keracunan dan zat-zat beracun yang berhubungan dengan kriminalitas.[6]
Adanya berbagai pendapat berkait keilmuan Kriminologi dideskripsikan di atas, menyebabkan sampai dengan saat ini para Kriminolog masih belum ada kesatuan pendapat yang pada akhirnya pada wilayah kajian Kriminologi. Keadaan seperti ini berlangsung terus-menerus sehingga pada akhirnya tidak ada satu definisipun dianggap memuaskan. Hoefnagels mengatakan:
“There are many definitions of criminology, but in the social sciences definitions have only relative value. Jurists have discovered this truth in the hundreds of years they have been searching for definition of law; no definition ever satisfies everyone. This relativity can be specified as relating to time, to the period in which each definition was mode”.[7]
2.      Perkembangan Wilayah Kajian Kriminologi
Memperhatikan perkembangan wilayah kajian Kriminologi, sampai dengan abad ke 20 wilayah “etiologi kriminal” inilah yang menjadi “trade mark” Kriminologi. Pada masa-masa itu, Kriminologi seolah-olah di-idemdito-kan dengan “etiologi kriminal”. Testimoninya merujuk pada rasionalisasi ajaran Bonger: “untuk mencegah kejahatan hal terkardinal harus diketahui adalah sebab-sebabnya, denga mengetahui faktor penyebabnya, kejahatan itu sedini mungkin sudah akan dapat dicegah”.[8]
Menurut Bonger, “bertujuan untuk menyelidiki kejahatan seluas-luasnya” berarti mencakup seluruh gejala patologi seperti : kemiskinan, pelacuran, kenakalan remaja alkoholisme, gelandangan, dan lain sebagainya, yang satu dengan yang lain saling berhubungan serta kebanyakan mempunyai sebab yang sama atau terdapat dalam satu etiologi. Faktor etiologi oleh Bonger disebut Kriminologi Teoritis atau Murni.[9]
Pengaruh ajaran Bonger sampai dewasa ini masih diterima dan “etiologi kriminal” tetap suttle menjadi salah satu wilayah kajian Kriminologi. Namun dalam upaya penanggulangan kejahatan, sebagai cermin dari “Kriminologi sebagai ilmu yang diamalkan”, diperkenalkan nomenklatur baru di dalam Kriminologi, yaitu: hygiene criminal dan politik kriminal.
Pertama, hygiene criminal, diambil dari ilmu kedokteran yang berarti “mencegah lebih baik daripada menyembuhkan”. Kebenaran ilmu kedokteran ini oleh Bonger diterapkan juga dalam Kriminologi, yakni “mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba mendidi penjahat menjadi orang baik kembali”.[10] Kedua,  politik kriminal, yang dimaksud adalah tindakan-tindakan yang harus diambil terhadap penjahat.[11]
Berkaitan dnegan wilayah kajian “etiologi kriminal”, di dalam pustaka Kriminologi menunjukkan, berdasakan hasil penelitian yang dilakukan para ahli, telah disepakati bahwa suatu kejahatan terjadi marena disebabkan oleh multiple factor. Kriminologi di samping mempelajari kejahatan dan factor etiologi, secara langsung mempelajari upaya-upaya “penanggulangannya” sebagai wujud “reaksi masyarakat” terhadap kejahatan dan penjahat. Upaya-upaya dimaksud dapat dilakukan dengan menggunakan sarana “nonpenal” dan “penal”.
Sarana “nonpenal” dilakukan dengan menerapkan metode abolisionistik  dan moralistik.
Pertama, metode “abolisionistik” maksudnya, upaya pencegahan kejahatan dilakukan dengan meninggalkan akar kriminalitas yang secara langsung potensial menjadi kejahatan untuk dicairkan dan ditemukan upaya penanggulangannya yang relevan dengan akar yang menjadi penyebab kejahatan tersebut.
Kedua, metode “moralistik”, maksudnya kejahatan ditanggulangi dengan cara melakukan pembinaan terhadap moral hazard masyarakat, melalui kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerntah di bidang agama dan keagamaan hukum, politik ,ekonomi, sosial, dan budaya.[12]
Sutherland menyatakan, pokok-pokok wilayah kajian dari Kriminologi terdiri atas 3 proses, yang memiliki hubungan causalitas determinant yang saling mempengaruhi, yakni:
a.       Processes of making laws (Proses-proses pembuatan undang-undang);
b.      Processes of breaking of laws (Proses-proses pelanggaran undang-undang);
c.       Processes of reacting toward of breaking of laws (Proses-proses reaksi terhadap pelanggaran undang-undang).[13]
Perkembangan wilayah kajian Kriminologi selanjutnya adalah mempelajari dan menyelidiki “perkembangan hukum pidana”, “pelaksanaan peradilan pidana” dan “pembinaan terhadap pelaku kejahatan”.
Menurut Stephen Schafer, Kriminologi juga mempelajari “efisiensi sistem pemidanaan”, di samping usaha-usaha menjelaskan “sebab-sebab kejahatan” dan rehabilitasi penjahat”.[14]
3.      Ruang Lingkup Kriminologi
Ruang lingkup Kriminologi adalah kejahatan, pelaku kejahatan (penjahat), sebab-sebab kejahatan (etiologi kriminal), penologi, reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan beserta efektivitasnya, masalah prevensi kejahatan, proses-proses formal dan informal dari kriminalisasi dan dekriminalisasi, situasi kejahatan penjahat dan masyarakat, reaksi-reaksi dan tanggapan-tanggapan resmi dan tidak resmi terhadap kejahatan, penjahat, dan masyarakat oleh pihak lain di luar kalangan penjahat.[15]
B.     Fondasi Keilmuan Kriminologi
Kriminologi terus mengkaji “pengetahuan kejahatan” , yang dipelajari atau dikaji adalah, ‘bagaimana permasalahan ikutan sebagai “pengetahuan baru” itu harus diselesaikan. Untuk kepentingan tersebut, Kriminologi harus bekerja sesuai dan berdasarkan metode-metode atau pendekatan-pendekatan yang dimilikinya. Dalam konteks ini Kriminologi disebut sebagai ilmu nomotetik.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Kriminologi mendeskripsikan berdasarkan data primer dan temuan-temuan yang diperolehnya berkait “pengetahuan kejahatan” yang menjadi objek penelitiannya. Dalam konteks ini Kriminologi disebut sebagai ilmu ideografis.
Kriminologi eksis sebagai ilmu (ilmu empirik), merujuk pada realitas kejahatan sebagai pengetahuan faktual tentang kenyataan yang bersifat faktual di masyarakat, karenanya ilmu ini bersumber pada empiri dan eksperimen.[16]
Kriminologi sebagai ilmu eksis juga sebagai produk maupun sebagai proses.Sebagai produk, ilmu “Kriminologi” adalah pengetahuan yang menyelidik masalah kejahatan yang hasilnya sudah terkaji dan teruji kebenarannya dan sudah tersusun secara sistemik. Sedangkan sebagai proses, ilmu “Kriminologi” menunjuk pada kegiatan akal budi manusia untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan untuk itu, untuk mengamati kejahatan sebagai gejala sosial.[17]

1.      Metode Penelitian Kriminologi
Metode penelitian Kriminologi merupakan cara kerja yang bersifat teknikal (praktis-fungsional) berupa langkah-langkah khusus dalam penelitian mengenai suatu “pengetahuan tentang kejahatan” yang dilakukan secara metodikal dan sistematik, untuk mencapai suatu tujuan. Metode-metode yang dimiliki oleh Kriminologi adalah  metode ilmu-ilmu alam, metode primer (untuk mendapatkan atau langsung dari pelaku kriminal, tipologi kriminal, dan melalui studi kasus), metode sekunder (digunakan bersama-sama dengan salah satu atau lebih metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial), metode eksperimental, metode prediksi, metode operasional, dan metode statistik kriminal.[18]
2.      Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data dimaksud di sini adalah “Metode Pengolahan Data”. Artinya data kriminal yang ditemukan dalam kegiatan penelitian Kriminologi, kemudian diolah dengan menggunakan metode-metode. Metode pengolahan data dimaksud adalah:
a.       Pengolahan data kuantitatif guna memahami frekuensi, distribusi, tingkat kecenderungan dan pola-pola kriminalitas tertentu.
b.      Pengolahan data kualitatif guna memahami tingkat kerawanan daerah tertentu, hubungan korelatif kriminogen, modus operandi, dan hazard kepolisian, serta memahami signifikansi upaya politik criminal, khususnya dilakukan kriminalisasi melalui kebijakan legislasi.[19]
Ketiga, aspek aksiologi, ilmu Kriminologi memiliki kegunaan atau manfaat bagi ilmu Kriminologi itu sendiri, baik secara teoretikal maupun praktikal, dan memiliki kemanfaatan besar bagi kehidupan masyarakat dan negara.[20]





BAB II
RELASITAS KRIMINOLOGI DENGAN ILMU-ILMU LAINNYA DAN DENGAN HUKUM PIDANA       

      A.    Relasitas Kriminologi dengan Ilmu-ilmu lainnya dan Ilmu yang Berbatasan (Allied               Sciences)  dengan Kriminologi
Kriminologi sebagai sains yang mempelajari pengetahuan kejahatan dengan berbagai aspeknya, dalam pelaksanaan tugasnya mempelajari kejahatan memerlukan kelengkapan bahan-bahan ilmiah berupa fakta atau sebagai hasil penelitian dari berbagai ilmu pengetahuan lain.
 Ilmu-ilmu tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
      1.      Induk Ilmu Pengetahuan Kriminologi
Induk Ilmu Pengetahuan Kriminologi adalah falsafah kemanusiaan, oleh karena itu merupakan induk ilmu pengetahuan Kriminologi yang sangat menentukan pandangan bangsa Indonesia terhadap kejahatan, penanggulangannya, sebab-sebab dan sikap, serta lingkungannya terhadap kejahatan.
      2.      Ilmu Pengetahuan Pembantu
Menjadi ilmu-ilmu pengetahuan pembantu dari Kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang manusia, baik berkenaan dengan manusia pribadi, sosial, maupun yang berkenaan dengan norma-norma pergaulan.
      3.      Ilmu Pengetahuan Bagian
Ilmu pengetahuan bagian dari Kriminologi adalah antropologi kriminal, sosiologi kriminal, psikologi kriminal, penologi (pemasyarakatan), politik kriminal, etiologi kriminal, dan lain-lain ilmu pengetahuan yang di belakang kata ilmu tersebut disertai kata kriminal.[21]
       4.      Ilmu Pengetahuan yang Berbatasan dengan Kriminologi (allied sciences) adalah :
a.       Kriminalistik
b.      Ilmu hukum pidana beserta acara pidananya
c.       Ilmu-ilmu pengetahuan (disciplines) lain yang mempelajari masalah kejahatan. Disiplin yang dimaksud adalah: Criminal Jurism, Statistik Kriminal, Antropologi Kriminal, Psikologi Kriminal, Psikiatri Kriminal, Epidemiologi Kriminal, Sosiologi Kriminal, Penologi, Viktimologi.[22]

      B.     Relasitas Kriminologi dengan Hukum Pidana (dan Politik Hukum Pidana) Dalam Konteks        Pelaksanaan Politik Kriminal
Kriminologi, Hukum Pidana dan Politik Hukum Pidana oleh Marc Ancel disebut sebagai criminal modern science dalam rangka mengkaji permasalahan kejahatan dan penanggulangannua (khususnya dalam pelaksanaan Politik Kriminal dengan menggunakan sanksi pidana). Ini bearti disiplin-disiplin ilmu tersebut antara satu dengan yang lain terdapat keterkaitan yang sangat erat dan saling berlasitas (erat berkait).[23]
      1.      Relasitas Kriminologi dengan Hukum Pidana
Ilmu Hukum Pidana, di sini, fokus bahasannya lebih dititikberatkan pada Ilmu Hukum Pidana Normatif. Dalam Hukum Pidana Normatif khusus menyangkut Hukum Pidana Materiil. Kriminologi membutuhkan Hukum Pidana (Materiil) sebagai sarana penanggulangann kejahatan. Dalam fungsinya, Hukum Pidana merupakan bagian dari Politik Kriminal, yaitu “usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan”.
Jika premis di atas dikaitkan dengan Kriminologi yang obyek formalnya adalah kejahatan, maka Ilmu Hukum Pidana yang obyek formalnya Hukum Pidana, secara tidak langsung juga mempelajari kejahatan (di dalam Hukum Pidana disebut “perbuatan pidana” atau “tindak pidana”). Perbuatan yang oleh Kriminologi dikualifikasikan sebagai kejahatan, oleh Hukum Pidana nantinya ditetapkan dan dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam suatu kebijakan legislasi (undang-undang) dalam suatu proses kriminalisasi melalui penetapan Kebijakan (Politik) Hukum Pidana.[24]
 2.      Relasitas Kriminologi dengan Politik Kriminal dan Politik Hukum Pidana
Bertitiktolak dari premis “Kriminologi dan Hukum Pidana adalah eksis sebagai criminal modern science (ilmu modern yang mengkaji tentang kejahatan)”, diketahui bahwa relasitas antara Kriminologi dengan Politik Kriminal dan Politik Hukum Pidana terletak pada kajian mengenai upaya penanggulangan kejahatan, khususnya dengan menggunakan sanksi pidana.[25]
Pertama, bidang kajian utama Kriminologi adalah mempeljari reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat. Reaksi demikian diwujudkan dalam bentuk “penanggulangan kejahatan”. Dalam kriminologi, upaya-upaya “penanggulangan kejahatan” disebut “politik kriminal” yang dalam pelaksanaannya dapat menggunakan sarana nonpenal dan sarana penal. Varian-varian yang dikaji oleh Politik Kriminal dan menjadi ruang lingkupnya adalah ‘perbuatan-perbuatan apa yang akan ditetapkan sebagai kejahatan (tindak pidana) disebut dengan “kebijakan kriminalisasi”, dan “pidana apa yang akan diancamkan terhadap pelanggarannya disebut dengan “kebijakan penalisasi”. Berkait dengan “kebijakan kriminalisasi”, bahwa perbuatan-perbuatan yang akan ditetapkan sebagai kejahatan (tindak pidana) merupakan hasil penelitian dan kajian Kriminologi. Hasil kajian tersebut kemudian direkomendasikan kepada Hukum Pidana bahwa perbuatan itu benar-benar bersifat jahat dan merugikan sehingga perlu dikriminalisasi. Bagaimana membuat dan merumuskan peraturan perundang-undangan Hukum Pidana terhadap perbuatan dikriminalisasi tersebut, harus menggunakan dan mengaplikasikan disiplin ilmu (Kebijakan) Politik Hukum Pidana.[26]
Kedua, berkait dengan “kebijakan penalisasi”, bahwa perbuatan-perbuatan yang direkomendasikan untuk dilakukan kriminalisasi, perlu ditetapkan ancaman pidana. Maka perlu dirumuskan dan ditetapkan aturan pidananya dengan sebaik mungkin dalam Hukum Pidana, haruslah menggunakan dan mengaplikasikan disiplin ilmu (Kebijakan) Politik Hukum Pidana.[27]
 







       [1]Lihat catatan kaki no.1, W.A. Bonger, “Inleiding tot de Criminologie”, diterjemahkan oleh                   R.A. Koesnon, Pengantar Tentang Kriminologi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hlm. 21.
       [2]Edwind H. Sutherland and Donald R. Cressey, Principle of Criminology (New York: JB.                     Lippincott Company, 1960), p.3.
       [3]Widiada Gunakaya, Kriminologi (Bandung: STHB, 2012), hlm. 4.
       [4]W.A. Bonger, op.cit., hlm. 5.
       [5]Noach dalam Widiada Gunakaya, loc.cit. 
       [6] Ibid., hlm. 9
       [7]G. Peter Hoefnagels, The Others Side of Criminology (Holand: Kluwer B.V., Deventer, 1973),             p. 44
        [8]W.A. Bonger, loc.cit.
       [9]W.A. Bonger, loc.cit.
       [10] Ibid, hlm. 169
       [11] Ibid, hlm. 170
       [12] A. Widiada Gunakaya, Kriminologi (Bandung: STHB, 2018), hlm. 9.
       [13]Edwind H. Sutherland and Donald R. Cressey, op.cit., p.3.
       [14]A. Widiada Gunakaya, op.cit., hlm. 11.
       [15] A. Widiada Gunakaya, op.cit., hlm. 12-13.
       [16] A. Widiada Gunakaya, op.cit., hlm. 16.
       [17]Ibid., hlm. 18.
       [18]Ibid., hlm. 20.
       [19]Ibid., hlm. 22.
       [20]Ibid., hlm. 23.
       [21]Ibid.
       [22] Ibid.
       [23]Ibid., hlm. 29.
       [24]Ibid., hlm. 31.
       [25]Ibid., hlm. 35.
       [26]Ibid., hlm. 36.
       [27]Ibid.