RINGKASAN KRIMINOLOGI
(Buku Kriminologi, penulis Dr. A. Widiada Gunakaya, S.H., M.H.)
Diajukan
sebagai Salah Satu Tugas dalam Mengikuti Mata Kuliah Kriminologi
Dosen
Dr.
A. Widiada Gunakaya, S.H.,M.H. / Mas Putra Zenno J., S.H.,M.H.
Oleh
Fajrin
Nur Aini
16.4301.115
Kelas A
16.4301.115
Kelas A
SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG
2018
BAB
I
ISTILAH, PENGERTIAN, PERKEMBANGAN
WILAYAH KAJIAN, RUANG LINGKUP RUANG
LINGKUP DAN FONDASI KEILMUAN KRIMINILOGI
A.
Istilah,
Pengertian, Perkembangan Wilayah Kajian dan Ruang Lingkup Kriminologi
1.
Istilah
dan Pengertian
Nama Kriminologi kali pertama diintroduksi
oleh seorang ahli Antropologi Prancis bernama P. Topinard (1830-1911).[1]
Secara etimologikal, kata Kriminologi terdiri atas dua kata, yakni crimen berarti kejahatan dan logos berarti ilmu pengetahuan (sain).
Jadi Kriminologi berarti ilmu pengetahuan tentang kejahatan.
Dasar dari kejahatan adalah suatu
“perilaku” dan yang melakukannya adalah “manusia”, maka Kriminologi harus mampu
mengaitkan kejahatan dengan disiplin-disiplin ilmu lain beserta kompleksitasnya
secara pisik, nonpisik maupun budayanya. Variabel-variabel dari substansi
proposisi tersebut signifikan dipelajari dan dipahami, karena fungsional dalam
rangka mengetahui ‘faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan’ dan untuk
mengkaji ‘mengapa orang (“manusia”) berperilaku jahat’. Dalam Kriminologi studi
mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya dan dilakukan kejahatan disebut
dengan “etiologi criminal” (criminal
etiology). Kriminologi dalam rangka mencari dan menemukan faktor etiologi
kriminal membutuhkan “pengetahuan-pengetahuan” yang dipelajari dan dikaji oleh
ilmu atau disiplin-disiplin ilmu lain berkaitan dengan faktor-faktor penyebab
kejahatan. Kriminologi hanya terdiri dari “kumpulan pengetahuan”. Oleh karena
itu, Sutherland mengatakan “Criminology is the body of knowledge
regarding crime as a social phenomenon”.[2]
Secara a contrario berarti menurut
Sutherland, Kriminologi bukan suatu “ilmu”.
Donald
R. Taft mengatakan, Kriminologi digunakan dalam arti luas
dan dalam arti sempit. Dalam “arti luas”, Kriminologi adalah suatu studi,
lingkup kajiannya mencakup semua materi yang diperlukan untuk memahami
kejahatan dan untuk pencegahan kejahatan, termasuk pemidanaan dan pembinaan
terhadap para penjahat dan remaja nakal. Sedangkan dalam “arti sempit”,
Kriminologi diartikan sebagai suatu studi sederhana, yang mencoba menjelaskan
kejahatan untuk mencari (meneliti) bagaimana (cara) mereka melakukan kejahatan
itu.[3]
Demikian pula menurut Bonger mengatakan: “Kriminologi adalah
suatu ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan
seluas-luasnya”.[4]
Ini berarti Bonger menganggap
Kriminologi adalah suatu “ilmu”.
Melengkapi pendapat Kriminologi adalah
“ilmu”, dikemukakan pendapat Noach yang mengatakan, “Krimimnologi dalam arti
luas dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Criminologie in enge zin (Kriminologi
dalam arti sempit); dan
b. Kriminalistik
(ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah teknik, dan
sebagai alat untuk mengadakan penyelidikan perkara kejahatan secara teknis
dengan menggunakan ilmu alam, kimia, dan lain-lain)”.[5]
Menurut Noach, dimaksud dengan Kriminologi
dalam arti sempit adalah “ilmu pengethuan dari bentuk-bentuk gejala,
sebab-musabab, dan akibat-akibat dari perbuatan jahat dan perilaku tercela.
Ditambahkan pula oleh Noach, kriminalistik
meliputi :
a. Ilmu
jejak: suatu ilmu yang digunakan untuk menyelidiki dan mengidentifikasi
jejak-jejak, yang ditinggalkan oleh penjahat atau alat-alat bantu yang telah
digunakan dalam melakukan kejahatan.
b. Ilmu
Kedokteran Forensik: suatu ilmu yang digunakan untuk menyelidiki sebab-musabab
kematian, luka-luka, darah, dan golongan darah, sperma, kotoran manusia, dan
penyelidikan-penyelidikan selanjutnya yang berkaitan dengan tubuh manusia
c. Toksikologi
Forensik: penyelidikan mengenai keracunan dan zat-zat beracun yang berhubungan
dengan kriminalitas.[6]
Adanya berbagai pendapat berkait
keilmuan Kriminologi dideskripsikan di atas, menyebabkan sampai dengan saat ini
para Kriminolog masih belum ada kesatuan pendapat yang pada akhirnya pada
wilayah kajian Kriminologi. Keadaan seperti ini berlangsung terus-menerus
sehingga pada akhirnya tidak ada satu definisipun dianggap memuaskan.
Hoefnagels mengatakan:
“There are many
definitions of criminology, but in the social sciences definitions have only
relative value. Jurists have discovered this truth in the hundreds of years
they have been searching for definition of law; no definition ever satisfies
everyone. This relativity can be specified as relating to time, to the period
in which each definition was mode”.[7]
2.
Perkembangan
Wilayah Kajian Kriminologi
Memperhatikan
perkembangan wilayah kajian Kriminologi, sampai dengan abad ke 20 wilayah
“etiologi kriminal” inilah yang menjadi “trade mark” Kriminologi. Pada
masa-masa itu, Kriminologi seolah-olah di-idemdito-kan
dengan “etiologi kriminal”. Testimoninya merujuk pada rasionalisasi ajaran Bonger: “untuk mencegah kejahatan hal
terkardinal harus diketahui adalah sebab-sebabnya, denga mengetahui faktor
penyebabnya, kejahatan itu sedini mungkin sudah akan dapat dicegah”.[8]
Menurut
Bonger, “bertujuan untuk menyelidiki kejahatan seluas-luasnya” berarti mencakup
seluruh gejala patologi seperti : kemiskinan, pelacuran, kenakalan remaja
alkoholisme, gelandangan, dan lain sebagainya, yang satu dengan yang lain
saling berhubungan serta kebanyakan mempunyai sebab yang sama atau terdapat
dalam satu etiologi. Faktor etiologi oleh Bonger disebut Kriminologi Teoritis
atau Murni.[9]
Pengaruh
ajaran Bonger sampai dewasa ini masih diterima dan “etiologi kriminal” tetap suttle menjadi salah satu wilayah kajian
Kriminologi. Namun dalam upaya penanggulangan kejahatan, sebagai cermin dari
“Kriminologi sebagai ilmu yang diamalkan”, diperkenalkan nomenklatur baru di
dalam Kriminologi, yaitu: hygiene
criminal dan politik kriminal.
Pertama,
hygiene
criminal, diambil dari ilmu kedokteran yang berarti “mencegah lebih
baik daripada menyembuhkan”. Kebenaran ilmu kedokteran ini oleh Bonger
diterapkan juga dalam Kriminologi, yakni “mencegah kejahatan lebih baik daripada
mencoba mendidi penjahat menjadi orang baik kembali”.[10]
Kedua, politik kriminal, yang
dimaksud adalah tindakan-tindakan yang harus diambil terhadap penjahat.[11]
Berkaitan
dnegan wilayah kajian “etiologi kriminal”, di dalam pustaka Kriminologi
menunjukkan, berdasakan hasil penelitian yang dilakukan para ahli, telah
disepakati bahwa suatu kejahatan terjadi marena disebabkan oleh multiple factor. Kriminologi di samping mempelajari kejahatan dan factor etiologi,
secara langsung mempelajari upaya-upaya “penanggulangannya” sebagai wujud
“reaksi masyarakat” terhadap kejahatan dan penjahat. Upaya-upaya dimaksud dapat
dilakukan dengan menggunakan sarana “nonpenal” dan “penal”.
Sarana
“nonpenal”
dilakukan dengan menerapkan metode abolisionistik
dan moralistik.
Pertama,
metode “abolisionistik” maksudnya, upaya pencegahan kejahatan dilakukan
dengan meninggalkan akar kriminalitas yang secara langsung potensial menjadi
kejahatan untuk dicairkan dan ditemukan upaya penanggulangannya yang relevan
dengan akar yang menjadi penyebab kejahatan tersebut.
Kedua,
metode “moralistik”, maksudnya kejahatan ditanggulangi dengan cara
melakukan pembinaan terhadap moral hazard
masyarakat, melalui kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerntah di
bidang agama dan keagamaan hukum, politik ,ekonomi, sosial, dan budaya.[12]
Sutherland menyatakan,
pokok-pokok wilayah kajian dari Kriminologi terdiri atas 3 proses, yang
memiliki hubungan causalitas determinant
yang saling mempengaruhi, yakni:
a. Processes of making laws
(Proses-proses pembuatan undang-undang);
b. Processes of breaking of laws
(Proses-proses pelanggaran undang-undang);
c. Processes of reacting toward of
breaking of laws (Proses-proses reaksi terhadap
pelanggaran undang-undang).[13]
Perkembangan wilayah kajian Kriminologi
selanjutnya adalah mempelajari dan menyelidiki “perkembangan hukum pidana”,
“pelaksanaan peradilan pidana” dan “pembinaan terhadap pelaku kejahatan”.
Menurut Stephen Schafer, Kriminologi juga mempelajari “efisiensi sistem
pemidanaan”, di samping usaha-usaha menjelaskan “sebab-sebab kejahatan” dan
rehabilitasi penjahat”.[14]
3.
Ruang
Lingkup Kriminologi
Ruang
lingkup Kriminologi adalah kejahatan, pelaku kejahatan (penjahat), sebab-sebab
kejahatan (etiologi kriminal), penologi, reaksi masyarakat terhadap kejahatan
dan pelaku kejahatan beserta efektivitasnya, masalah prevensi kejahatan,
proses-proses formal dan informal dari kriminalisasi dan dekriminalisasi,
situasi kejahatan penjahat dan masyarakat, reaksi-reaksi dan
tanggapan-tanggapan resmi dan tidak resmi terhadap kejahatan, penjahat, dan
masyarakat oleh pihak lain di luar kalangan penjahat.[15]
B.
Fondasi
Keilmuan Kriminologi
Kriminologi
terus mengkaji “pengetahuan kejahatan” , yang dipelajari atau dikaji adalah,
‘bagaimana permasalahan ikutan sebagai “pengetahuan baru” itu harus diselesaikan.
Untuk kepentingan tersebut, Kriminologi harus bekerja sesuai dan berdasarkan
metode-metode atau pendekatan-pendekatan yang dimilikinya. Dalam konteks ini
Kriminologi disebut sebagai ilmu nomotetik.
Berdasarkan
hasil penelitiannya, Kriminologi mendeskripsikan berdasarkan data primer dan
temuan-temuan yang diperolehnya berkait “pengetahuan kejahatan” yang menjadi
objek penelitiannya. Dalam konteks ini Kriminologi disebut sebagai ilmu
ideografis.
Kriminologi
eksis sebagai ilmu (ilmu empirik), merujuk pada realitas kejahatan sebagai
pengetahuan faktual tentang kenyataan yang bersifat faktual di masyarakat,
karenanya ilmu ini bersumber pada empiri dan eksperimen.[16]
Kriminologi
sebagai ilmu eksis juga sebagai produk
maupun sebagai proses.Sebagai produk, ilmu “Kriminologi” adalah
pengetahuan yang menyelidik masalah kejahatan yang hasilnya sudah terkaji dan
teruji kebenarannya dan sudah tersusun secara sistemik. Sedangkan sebagai proses, ilmu “Kriminologi” menunjuk pada
kegiatan akal budi manusia untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis
dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan untuk
itu, untuk mengamati kejahatan sebagai gejala sosial.[17]
1.
Metode
Penelitian Kriminologi
Metode penelitian Kriminologi merupakan
cara kerja yang bersifat teknikal (praktis-fungsional) berupa langkah-langkah
khusus dalam penelitian mengenai suatu “pengetahuan tentang kejahatan” yang
dilakukan secara metodikal dan sistematik, untuk mencapai suatu tujuan.
Metode-metode yang dimiliki oleh Kriminologi adalah metode ilmu-ilmu alam, metode primer (untuk
mendapatkan atau langsung dari pelaku kriminal, tipologi kriminal, dan melalui
studi kasus), metode sekunder (digunakan bersama-sama dengan salah satu atau
lebih metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial), metode eksperimental,
metode prediksi, metode operasional, dan metode statistik kriminal.[18]
2.
Metode
Pengolahan Data
Metode
pengolahan data dimaksud di sini adalah “Metode Pengolahan Data”. Artinya data
kriminal yang ditemukan dalam kegiatan penelitian Kriminologi, kemudian diolah
dengan menggunakan metode-metode. Metode pengolahan data dimaksud adalah:
a. Pengolahan
data kuantitatif guna memahami frekuensi, distribusi, tingkat kecenderungan dan
pola-pola kriminalitas tertentu.
b. Pengolahan
data kualitatif guna memahami tingkat kerawanan daerah tertentu, hubungan
korelatif kriminogen, modus operandi, dan hazard kepolisian, serta memahami
signifikansi upaya politik criminal, khususnya dilakukan kriminalisasi melalui
kebijakan legislasi.[19]
Ketiga, aspek aksiologi, ilmu
Kriminologi memiliki kegunaan atau manfaat bagi ilmu Kriminologi itu sendiri,
baik secara teoretikal maupun praktikal, dan memiliki kemanfaatan besar bagi
kehidupan masyarakat dan negara.[20]
BAB II
RELASITAS KRIMINOLOGI DENGAN ILMU-ILMU
LAINNYA DAN DENGAN HUKUM PIDANA
A. Relasitas Kriminologi dengan
Ilmu-ilmu lainnya dan Ilmu yang Berbatasan (Allied Sciences) dengan Kriminologi
Kriminologi sebagai
sains yang mempelajari pengetahuan kejahatan dengan berbagai aspeknya, dalam
pelaksanaan tugasnya mempelajari kejahatan memerlukan kelengkapan bahan-bahan
ilmiah berupa fakta atau sebagai hasil penelitian dari berbagai ilmu
pengetahuan lain.
Ilmu-ilmu
tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Induk Ilmu Pengetahuan Kriminologi
Induk Ilmu Pengetahuan
Kriminologi adalah falsafah kemanusiaan, oleh karena itu merupakan induk ilmu
pengetahuan Kriminologi yang sangat menentukan pandangan bangsa Indonesia
terhadap kejahatan, penanggulangannya, sebab-sebab dan sikap, serta
lingkungannya terhadap kejahatan.
2.
Ilmu Pengetahuan Pembantu
Menjadi ilmu-ilmu
pengetahuan pembantu dari Kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang manusia,
baik berkenaan dengan manusia pribadi, sosial, maupun yang berkenaan dengan
norma-norma pergaulan.
3. Ilmu
Pengetahuan Bagian
Ilmu pengetahuan bagian dari Kriminologi
adalah antropologi kriminal, sosiologi kriminal, psikologi kriminal, penologi
(pemasyarakatan), politik kriminal, etiologi kriminal, dan lain-lain ilmu
pengetahuan yang di belakang kata ilmu tersebut disertai kata kriminal.[21]
4. Ilmu
Pengetahuan yang Berbatasan dengan Kriminologi (allied sciences) adalah :
a. Kriminalistik
b. Ilmu
hukum pidana beserta acara pidananya
c. Ilmu-ilmu
pengetahuan (disciplines) lain yang mempelajari masalah kejahatan. Disiplin
yang dimaksud adalah: Criminal Jurism, Statistik Kriminal, Antropologi
Kriminal, Psikologi Kriminal, Psikiatri Kriminal, Epidemiologi Kriminal,
Sosiologi Kriminal, Penologi, Viktimologi.[22]
B.
Relasitas
Kriminologi dengan Hukum Pidana (dan Politik Hukum Pidana) Dalam Konteks Pelaksanaan Politik Kriminal
Kriminologi, Hukum Pidana dan Politik
Hukum Pidana oleh Marc Ancel disebut sebagai criminal modern science dalam rangka mengkaji permasalahan
kejahatan dan penanggulangannua (khususnya dalam pelaksanaan Politik Kriminal
dengan menggunakan sanksi pidana). Ini bearti disiplin-disiplin ilmu tersebut
antara satu dengan yang lain terdapat keterkaitan yang sangat erat dan saling
berlasitas (erat berkait).[23]
1.
Relasitas
Kriminologi dengan Hukum Pidana
Ilmu Hukum
Pidana, di sini, fokus bahasannya lebih dititikberatkan pada Ilmu Hukum Pidana
Normatif. Dalam Hukum Pidana Normatif khusus menyangkut Hukum Pidana Materiil.
Kriminologi membutuhkan Hukum Pidana (Materiil) sebagai sarana penanggulangann
kejahatan. Dalam fungsinya, Hukum Pidana merupakan bagian dari Politik
Kriminal, yaitu “usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan”.
Jika premis di atas dikaitkan dengan
Kriminologi yang obyek formalnya adalah kejahatan, maka Ilmu Hukum Pidana yang
obyek formalnya Hukum Pidana, secara tidak langsung juga mempelajari kejahatan
(di dalam Hukum Pidana disebut “perbuatan pidana” atau “tindak pidana”).
Perbuatan yang oleh Kriminologi dikualifikasikan sebagai kejahatan, oleh Hukum
Pidana nantinya ditetapkan dan dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam
suatu kebijakan legislasi (undang-undang) dalam suatu proses kriminalisasi
melalui penetapan Kebijakan (Politik) Hukum Pidana.[24]
2.
Relasitas
Kriminologi dengan Politik Kriminal dan Politik Hukum Pidana
Bertitiktolak dari premis “Kriminologi
dan Hukum Pidana adalah eksis sebagai criminal
modern science (ilmu modern yang mengkaji tentang kejahatan)”, diketahui
bahwa relasitas antara Kriminologi dengan Politik Kriminal dan Politik Hukum
Pidana terletak pada kajian mengenai upaya penanggulangan kejahatan, khususnya
dengan menggunakan sanksi pidana.[25]
Pertama,
bidang kajian utama Kriminologi adalah mempeljari reaksi masyarakat terhadap
kejahatan dan penjahat. Reaksi demikian diwujudkan dalam bentuk “penanggulangan
kejahatan”. Dalam kriminologi, upaya-upaya “penanggulangan kejahatan” disebut
“politik kriminal” yang dalam pelaksanaannya dapat menggunakan sarana nonpenal
dan sarana penal. Varian-varian yang dikaji oleh Politik Kriminal dan menjadi
ruang lingkupnya adalah ‘perbuatan-perbuatan apa yang akan ditetapkan sebagai
kejahatan (tindak pidana) disebut dengan “kebijakan kriminalisasi”, dan
“pidana apa yang akan diancamkan terhadap pelanggarannya disebut dengan “kebijakan
penalisasi”. Berkait dengan “kebijakan
kriminalisasi”, bahwa perbuatan-perbuatan yang akan ditetapkan sebagai
kejahatan (tindak pidana) merupakan hasil penelitian dan kajian Kriminologi.
Hasil kajian tersebut kemudian direkomendasikan kepada Hukum Pidana bahwa
perbuatan itu benar-benar bersifat jahat dan merugikan sehingga perlu
dikriminalisasi. Bagaimana membuat dan merumuskan peraturan perundang-undangan
Hukum Pidana terhadap perbuatan dikriminalisasi tersebut, harus menggunakan dan
mengaplikasikan disiplin ilmu (Kebijakan) Politik Hukum Pidana.[26]
Kedua, berkait dengan “kebijakan
penalisasi”, bahwa perbuatan-perbuatan yang direkomendasikan untuk dilakukan
kriminalisasi, perlu ditetapkan ancaman pidana. Maka perlu dirumuskan dan
ditetapkan aturan pidananya dengan sebaik mungkin dalam Hukum Pidana, haruslah
menggunakan dan mengaplikasikan disiplin ilmu (Kebijakan) Politik Hukum Pidana.[27]